Mengapa moderasi beragama penting dalam konteks persatuan di Indonesia? Namun sebelum mempertimbangkan pentingnya moderasi beragama dalam konteks persatuan Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian moderasi beragama itu sendiri.

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderation” berasal dari kata moderation yang berarti sikap moderat, sikap moderasi. Ada juga kata moderator, artinya ketua (rapat), mediator, mediator (perselisihan). Kata moderasi berasal dari bahasa latin moderasio yang berarti menjadi (tidak berlebihan atau kurang). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghindaran kekerasan atau ekstrim. Kata ini merupakan serapan dari kata “moderat” yang berarti selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrim dan cenderung ke jalan tengah. Sementara itu, kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai perantara (hakim, wasit, dll.), pembawa acara (rapat, diskusi), yang merupakan direktur program negosiasi atau diskusi masalah. , sebuah instrumen pada mesin yang mengatur atau mengendalikan suplai bahan bakar atau sumber energi.

Jadi, bila kata “moderasi” disandingkan dengan kata “agama” menjadi “moderasi beragama”, maka istilah ini berarti sikap untuk mengurangi kekerasan atau menghindari ekstrimitas dalam praktik keagamaan. Perpaduan dua kata ini merujuk pada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip yang senantiasa menghindari tindakan atau ungkapan ekstrem (radikalisme) dan senantiasa mencari jalan tengah yang menyatukan dan menyamakan seluruh elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. . Indonesia.

Sikap moderasi dan moderasi adalah sikap yang dewasa, baik dan sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian/umpatan dan lelucon praktis, terutama atas nama agama, bersifat kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik, dan tidak perlu.

Moderasi beragama adalah upaya kreatif untuk mengembangkan sikap beragama di antara berbagai keterbatasan, seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan arogan terhadap ajaran agama, dan antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen inti moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya cara terbaik untuk memerangi radikalisme agama, yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mempengaruhi kehidupan persatuan dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Memperhatikan perspektif agama dalam dinamika negara-bangsa belakangan ini, Presiden RI Joko Widodo berulang kali menantang para tokoh agama untuk menjadikan agama sebagai sumber nilai-nilai yang sadar akan keberagaman. Presiden mengajak para pemuka agama dan tokoh agama untuk memberikan pemahaman keagamaan yang lebih dalam dan luas kepada pengikutnya, karena eksklusivitas, radikalisme, dan sentimen keagamaan cenderung didasarkan pada ajaran agama yang menyimpang. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan ruh utama bangsa ini, oleh karena itu tokoh agama berperan penting dalam menjaga kebhinekaan sebagai kekayaan dan modal sosial bangsa Indonesia.

Keanekaragaman dan Keanekaragaman Indonesia

Bagi bangsa Indonesia, keberagaman dianggap sebagai kehendak Tuhan. Kebhinekaan tidak diminta, melainkan anugerah dari Tuhan yang mencipta, bukan untuk ditawar, melainkan untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan agama yang tidak ada duanya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dianut masyarakat, terdapat ratusan bahkan ribuan suku bangsa, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia.

Padahal masyarakat Indonesia itu beragam, bisa dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing wakil bangsa, termasuk di bidang keagamaan. Untung saja kita punya satu bahasa, bahasa Indonesia, sehingga semua keragaman kepercayaan itu tetap bisa diwariskan sehingga penduduknya bisa saling memahami. Namun, gesekan terkadang muncul karena salah urus keragaman.

Dari sudut pandang agama, keberagaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan berkenan, maka tentunya tidak sulit untuk menjadikan hamba-hamba-Nya satu tipe yang sama. Namun Tuhan sangat menghendaki umat manusia yang beraneka ragam, suku bangsa, bangsa, sehingga hidup menjadi dinamis, saling belajar dan mengenal satu sama lain. Dalam pengertian ini, bukankah varietas ini sangat indah? Kita harus mensyukuri keberagaman bangsa Indonesia.

Selain agama dan kepercayaan yang berbeda, ada juga perbedaan interpretasi ajaran agama dalam setiap agama, terutama dalam hal praktik dan ritual keagamaan. Pada umumnya setiap tafsir ajaran agama memiliki penganut yang meyakini kebenaran tafsir yang dianutnya.

Pengetahuan tentang keragaman inilah yang memungkinkan orang beriman untuk memilih jalan tengah (moderat) jika satu-satunya pilihan interpretasi yang benar tidak memungkinkan. Sikap ekstrim biasanya terjadi ketika seorang pemeluk suatu agama tidak mengetahui bahwa ada alternatif kebenaran tafsir lain yang dapat diterimanya. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting sebagai cara pandang terhadap agama.

Di Indonesia, dalam era demokrasi terbuka, perbedaan pandangan dan kepentingan warga negara dari berbagai negara dikelola sedemikian rupa sehingga semua aspirasi dapat diarahkan ke arah yang benar. Demikian pula dalam hal agama, konstitusi kita menjamin kebebasan umat beragama untuk menganut dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinan dan keyakinannya.

Ideologi negara kita Pancasila sangat memperhatikan terciptanya kerukunan antar umat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi masyarakat dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya serta dinilai berhasil menyandingkan jalan agama dan negara secara harmonis. Konflik dan ketegangan sosial dalam skala kecil sering terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik tersebut dan kembali pada kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa yang besar, bangsa yang dikaruniai keberagaman oleh Sang Pencipta.

Namun, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai bangsa adalah konflik agama, terutama yang disertai dengan tindakan kekerasan. Mengapa? Karena agama, apapun dan dimanapun, didasarkan pada keberpihakan, terbebani oleh emosi, dan subjektivitas yang tinggi, sehingga hampir selalu menimbulkan ikatan emosional di antara para pemeluknya. Bahkan bagi pemeluknya yang fanatik, agama adalah “objek” yang sakral, sakral, teraniaya, dan sakral. Alih-alih menuju kehidupan yang damai dan tenang, fanatisme ekstrim terhadap kebenaran tafsir agama seringkali menimbulkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.

Konflik yang berasal dari agama ini dapat melibatkan kelompok atau sekte yang berbeda dalam agama yang sama (sektarian atau intra-agama) atau muncul dalam kelompok yang berbeda dalam agama yang berbeda (komunal atau antar-agama). Biasanya awal dari konflik atas dasar agama ini disebabkan oleh sikap saling menyalahkan atas penafsiran dan pemahaman agama, perasaan terlena dan ketidakmauan untuk membuka diri terhadap penafsiran dan pandangan agama orang lain.

Untuk mengelola situasi keagamaan yang sangat beragam di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, diperlukan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan beragama, yaitu dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman interpretasi, dan menghindari ekstremisme. intoleransi dan tindakan kekerasan.

Semangat moderasi beragama adalah mencari titik temu dua kutub ekstrim agama. Di satu sisi, ada penganut agama Tang ekstrim yang secara mutlak meyakini kebenaran salah satu tafsir atas sebuah teks agama, menganggap penafsir lain sesat. Kelompok ini biasa disebut sebagai ultrakonservatif. Di sisi lain, ada juga orang yang sangat religius yang mendewakan pikiran sampai mengabaikan kesucian agama atau mengorbankan keyakinan agama inti mereka untuk toleransi Tang yang tidak pantas terhadap penganut agama lain. Mereka biasanya disebut ekstrem liberal. Keduanya membutuhkan moderasi.

Mengapa moderasi beragama itu penting?

Pertanyaan yang sering ditanyakan: mengapa kita orang Indonesia khususnya membutuhkan moderasi dalam beragama?

Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam agama tidak bisa dihindari, maka tidak bisa dihilangkan. Gagasan utama moderasi adalah mencari kesamaan, bukan memperparah perbedaan. Lebih jauh lagi, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa kita membutuhkan moderasi beragama:

Pertama, salah satu hakekat beragama adalah terpeliharanya harkat dan martabat manusia sebagai makhluk mulia yang diciptakan Tuhan, termasuk di dalamnya adalah kepedulian untuk tidak mencabut nyawanya sendiri. Itulah sebabnya setiap agama selalu mengemban misi perdamaian dan keamanan. Untuk mencapai hal tersebut, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa perlindungan nyawa manusia harus menjadi prioritas; Penghancuran satu kehidupan sama saja dengan penghancuran kehidupan seluruh umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Orang-orang ekstrim seringkali terjebak dalam praktik agama atas nama Tuhan hanya untuk melindungi keagungan-Nya dengan mengabaikan aspek kemanusiaan. Umat beragama dengan demikian rela merendahkan sesamanya “atas nama Tuhan”, padahal pembelaan terhadap kemanusiaan itu sendiri merupakan bagian dari inti ajaran agama.

Sebagian orang sering menggunakan ajaran agama untuk memuaskan nafsunya, kepentingan hewannya, dan seringkali juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Tindakan eksploitatif atas nama agama ini menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrim dan ekses. Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi dalam agama adalah sebagai cara untuk mengembalikan esensi praktik keagamaan, dan agar agama benar-benar melindungi martabat manusia, dan bukan sebaliknya.

Kedua, ribuan tahun setelah lahirnya agama, manusia telah bertambah dan berubah, dengan berbagai suku bangsa, bangsa, warna kulit berbeda, tersebar di berbagai negara dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan penyebaran umat manusia, agama berkembang dan menyebar. Karya-karya para sarjana sebelumnya yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi cukup untuk menutupi seluruh kerumitan masalah manusia.

Teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran berlipat ganda; Beberapa pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada hakekat dan esensi ajaran agamanya, melainkan fanatik terhadap versi kebenaran yang disukainya, bahkan terkadang terhadap tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Jadi konflik tidak bisa dihindari. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama yang serupa ditemukan di berbagai belahan dunia, tidak hanya di Indonesia dan Asia, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks ini menentukan pentingnya moderasi beragama agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik atas dasar agama.

Ketiga, khususnya dalam konteks Indonesia, moderasi beragama sangat penting sebagai strategi budaya kita dalam merawat bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, para pendirinya sejak awal berhasil mentransmisikan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang ternyata berhasil mempersatukan semua agama, suku, bahasa dan bahasa. kelompok budaya. Dapat diterima secara umum bahwa Indonesia bukanlah negara agama, tetapi tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dilestarikan berpadu dengan kearifan dan adat istiadat setempat, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual keagamaan dan budaya terjalin secara rukun dan damai.

Inilah jati diri Indonesia yang sesungguhnya, negara yang sangat religius, berwatak santun, toleran dan mampu berdialog dengan keberagaman. Ekstrimisme dan radikalisme pasti akan menggerogoti fondasi identitas Indonesia kita jika dibiarkan tumbuh. Oleh karena itu, moderasi beragama sangat penting sebagai perspektif.

Terlepas dari tiga poin utama di atas, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi beragama sebenarnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak hanya dengan perilaku individu tetapi juga dengan komunitas atau institusi.

Kesederhanaan telah lama menjadi aspek penting dari sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Setiap agama pasti cenderung mengajarkan dalam pengertian yang sama, yaitu bahwa pilihan jalan tengah antara dua ekstrim dan tidak berlebihan adalah sikap beragama yang paling ideal.

Kesamaan nilai moderasi inilah yang menjadi pendorong pertemuan bersejarah dua tokoh agama terbesar dunia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayeb, pada 4 Februari 2019. Dalam pertemuan tersebut, dikembangkan dokumen persaudaraan manusia yang di antara pesan-pesan utamanya ditekankan bahwa musuh kita bersama saat ini sebenarnya adalah ekstremisme tajam (fanatic extremism), keinginan untuk saling menghancurkan (destruction), perang (war), intoleransi (intoleransi), serta kebencian (sikap keji) antar sesama, dan semuanya atas nama agama.

Di Indonesia, sebagai negara multietnis dan multikultural, konflik agama bisa saja muncul. Kita membutuhkan moderasi beragama sebagai solusi agar dapat menjadi kunci penting untuk mewujudkan kehidupan beragama yang rukun, rukun, damai dan mengedepankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan secara umum.

Moderat sering disalahpahami dalam konteks agama di Indonesia. Banyak orang berpikir bahwa menjadi moderat dalam beragama berarti mereka tidak teguh pada pendiriannya, tidak serius, atau tidak benar-benar menjalankan agamanya. Kaum moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan agama-teologis dengan penganut agama lain.

Orang yang moderat sering digambarkan kurang beragama karena dianggap tidak menjadikan semua ajaran agama sebagai pedoman hidup dan tidak menjadikan perilaku pemuka agamanya sebagai panutan dalam segala aspek kehidupan. Umat beragama moderat juga sering dianggap tidak peka, acuh tak acuh, atau tidak protektif ketika, misalnya, simbol agamanya direndahkan.

Kesalahpahaman lain yang meluas di masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama saja dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang tertera jelas dalam teks-teks agama, sehingga dalam kehidupan beragama di Indonesia yang menganut agama-agama moderat seringkali bertentangan secara diametris dengan orang-orang yang dianggap konservatif dan menganut ajaran agamanya.

Kesalahpahaman akan makna istilah “moderat” dalam agama ini berimplikasi pada munculnya antipati di kalangan masyarakat yang umumnya tidak mau disebut moderat, atau bahkan lebih menyalahkan sikap moderat.

Namun, apakah ini benar-benar pemahaman yang moderat? Dan benarkah moderat dalam beragama berarti menggadaikan keyakinan agamanya demi menghormati keyakinan penganut agama lain?

Jawabannya tentu saja tidak. Bersikap moderat dalam beragama bukan berarti mengkompromikan prinsip dasar atau ritual dasar agama untuk menyenangkan orang lain yang berbeda pandangan agama atau menganut agama yang berbeda. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak serius dalam menjalankan ajaran agamanya. Sebaliknya, bersikap moderat dalam beragama berarti yakin pada hakikat ajaran agama yang dianutnya, yang mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbangan, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut penafsiran agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *